Beberapa hari ini, di laman Facebook saya banyak berseliweran tautan soal itu imam muda dari ITB yang bacaannya banyak bikin orang kepingin shalat lagi. Rendisi surat Alfatihah dan Almukminun dari Muzzamil Hasballah, nama kawan kita itu, seperti punya daya magis yang bikin sebagian orang merinding.
Sebagian menuding suara merdu Muzzamil jadi sebabnya. Saya akan mencoba mengambil jalan lain untuk menjelaskan fenomena tersebut.
Begini, menurut saya, sedianya bukan “kemerduan” suara Muzzamil yang bikin darasan Alqurannya demikian mengetarkan. Yang lebih dominan, adalah bagaimana ia begitu menguasai teknik kuno yang namanya melisma.
Melisma ini, adalah teknik menyanyikan satu suku kata dalam pergerakan nada yang berbeda. Jaman sekarang, dalam musik populer Barat, contoh yang paling gamblang adalah saat mendiang Whitney Houston meneriakkan itu “and aaaaiiiiaaaaaaiiii…” dalam I Will Always Love You. Contoh yang lebih menggetarkan barangkali saat Lady Gaga menyanyikan lagu kebangsaan Amerika Serikat, Februari 2016 lalu.
Di musik barat, melisma kerap dilakukan dengan naik-turun satu tangga nada pentatonik. Ada yang berbeda dengan teknik melisma musik-musik timur. Di wilayah Timur Tengah atau Timur Jauh, eskalasi dan deskalasi kadang kala hanya setengah nada atau bahkan seperempat nada pentatonik.
Saat itu melisma dieksekusi dengan ciamik seperti dalam tarhim yang kerap kita dengar sebelum adzan di masjid-masjid bukan Salafi, ia jadi luar biasa menggetarkan. Begitu juga dengan lantunan erhu dari Cina.
Dalam khazanah musik Tanah Air, teknik melisma setengah nada ini sering dipakai dalam musik Melayu dan pembacaan Macapat Jawa. Ia kemudian dipopulerkan lewat musik Dangdut dan diberi nama teknik cengkok. Salah satu penerapannya yang terbilang fenomenal adalah pada pembukaan “Ani” oleh Abang Haji Rhoma Irama.
Pertanyannya kemudian, mengapa melisma bisa menggetarkan kita? Bisa membuat bulu kuduk berdiri dan melambungkan suasana hati?
Secara saintifik, getaran yang kita rasakan saat mendengar musik-musik yang menggerakkan kerap disebut frisson, dari bahasa Prancis yang terjemahannya kurang lebih “getaran estetika”. Frisson ini bukan hanya bisa datang dari musik. Ia juga bisa datang dari karya-karya seni dan sastra lainnya.
Sejauh ini, telah banyak penelitian soal mengapa manusia merasakan frisson saat mendengarkan musik tertentu.
Seorang ashli neurosaintik dari Estonia, Jakk Panksepp, misalnya, menemukan bahwa manusia lebih mudah tergetar dengan musik-musik dengan alunan perlahan dan melisma yang cenderung menurun nadanya. Orang Indonesia mungkin akrab dengan jenis melisma menurun ini pada adzan, irham, lantunan tilawatil Alquran, juga Macapat.
Sementara David Huron, musikolog dari Cambridge, mengaitkan frisson dengan lompatan dinamika tetiba dalam struktur musik tertentu. Contoh yang bisa saya bayangkan adalah Unforgiven-nya Metallica atau Smell Like Teen Spirit-nya Nirvana yang memainkan perubahan agresifitas musik secara mendadak, atau penggunaan nada-nada dengan rentang yang berjauhan seperti dalam lantunan gitar pembuka Scar Tissue-nya Red Hot Chilli Paper atau lantunan lirik Someone Like You-nya Adele.
George Bubenik, seorang sikolog sekaligus zoologis dari Universitas Guelph, Ontario, menilai, merinding yang kita rasakan melalui musik itu bisa dilacak akarnya dari jejak evolusionis kita. Dia bilang, saat kita masih lebih berbulu dari sekarang, merinding berfungsi untuk melacak perubahan suhu yang tiba-tiba. Saat kita tak memerlukan lagi bulu sebagai pelindung dari cuaca, merinding jadi warisan psikologis yang tak lagi dipicu cuaca, melainkan anasir-anasir psikologis lain, salah satunya musik.
Bagaimanapun, pada akhirnya saya tak berniat membunuh kesakralan dan kenikmatan yang sebagian kita alami saat mendengar teks-teks religius dideraskan atau lagu-lagu favorit didendangkan. Sebaliknya, saat kita tetiba merinding saat jadi jamaah imam tertentu yang jago memainkan melisma, dengan mengerti kompleksitas dibalik pemicu suasana kejiwaan itu, barangkali kita bisa mengingat juga betapa luar biasa Tuhan merancang manusia. []