Yang Perlu Anda Tahu Soal Serangan Jakarta

Oke, sekarang sudah hari ketiga selepas teror. Sejumlah informasi kunci sudah mengemuka dan mulai bisa diuji. Mari menganalisis informasi-informasi tersebut dan menyarikan yang penting-penting. Saya tentunya bukan yang paling paham, tapi kebetulan kerja kantor entah bagaimana mengantarkan saya ke banyak sekali kasus dan persidangan terorisme yang mengemuka sejak 2009. Jadi kita mulai saja, terserah mau percaya atau tidak.

Benarkah ISIS dalang dibalik serangan?

Saya kira ini kesimpulan yang sedikit terlampau menyederhanakan. Begini, kita sedikitnya sudah paham soal latar belakang salah satu penyerang, yang disebut polisi dengan alias Afif  (itu yang pakai topi hitam dan celana gawol). Yang bersangkutan pernah ditahan selama dua tahun sejak 2010 karena ikut pelatihan militer ilegal di Aceh.

Sementara dalangnya, kata Polisi, bernama Bahrun Naim yang disebut sekarang berada di Suriah dan punya ambisi jadi bosnya ISIS di Asia Tenggara. Berdasar catatan kepolisian Solo, Bahrun Naim pada 2008 bergabung dengan Jamaah Anshorut Tauhid bentukan Abu Bakar Baasyir.

Nama dia muncul pada 2010 ketika ditangkap oleh Densus 88 di Solo. Saat itu, ia ditangkap bersama sejumlah barang bukti ratusan butir amunisi ilegal dan disebut berencana menyerang Presiden Obama ketika berkunjung ke Indonesia. Pada 2011, ia divonis hukuman dua setengah tahun.

Artinya, polisi sudah paham dua orang itu otaknya sudah tak beres jauh sebelum ISIS terbentuk di Irak pada 2013. Demikian juga Santoso, gembong teroris mitikal yang kabarnya sekarang bersembunyi di Poso. Dia juga baru-baru saja menyataan baiat pada ISIS.

Ini khas teroris dan kelompok teroris dari Tanah Air. Soal Alqaidah, Jamaah Islamiyah, atau ISIS sedianya hanya pakaian saja. Akar mereka sudah jauh mengular sejak pemberontakan DI/TII dan kemudian tekanan Orde Baru terhadap kelompok Islam. Ia tak sepenuhnya perlu punya kaitan dengan yang di Timur Tengah walau itu hal jadi alasan juga.

Apakah benar teror kemarin masuk dalam rangkaian serangan ISIS di mancanegara?

Ini lebih pelik dijawab. Secara pola, serangan kemarin memang mirip dengan yang di Paris dan Tunisia. Ada sekelompok bersenjata menyerang dengan bom dan senapan secara terkordinasi. Tapi, melihat yang disasar, ada yang unik. Anda sah-sah saja bertanya-tanya, mengapa dari sekian banyak orang para penyerang nampaknya hanya menyasar petugas polisi? Hal ini tak seperti di Paris dan Tunisia yang sasarannya lebih tak diskriminatif.

Dari hal itu, saya ingin mengajak menengok hubungan unik pelaku teror dan polisi di Indonesia. Indonesia bisa dibilang satu dari sedikit saja negara yang memberantas teorisme dengan aparat sipil. Di belahan dunia lain, militer yang lebih mengemuka sebagai ujung tombak.

Pilihan ini mulanya, dan saya yakini masih, jadi pilihan tepat buat Indonesia. Namun, tak jarang kita dengar penangkapan dilakukan dengan eksesif. Beberapa kali, terlebih sejak 2009, Densus 88 melakukan pembunuhan ekstrajudisial terhadap para terduga (ingat, sebenarnya tak ada status hukum “terduga” di perundangan Indonesia).

Di Poso, sejak 2010, polisi dan para terduga teroris sudah bakuburu dan bakubunuh. Dia orang macam tenggelam dengan perangnya sendiri, jauh dari sorotan di Ibu kota. Misalnya ada polisi terbunuh, besoknya ada desa yang dikepung, orang-orang dianiaya kemudian dipenjara, lusanya ada polisi dibunuh lagi.

Saat ISIS digaungkan sebagai ancaman oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada awal hingga pertengahan 2014, penangkapan menjadi-jadi. Dari tukang es sampai pasangan suami istri yang punya atribut ISIS diciduk dan sebagian tak jelas bagaimana kelanjutan kasusnya.

Tiba-tiba, kelompok di Poso yang sudah lama ada tersebut juga dibilang pemerintah punya kaitan dengan ISIS. Walhasil, militer melakukan aksi latihan (harus dibilang latihan karena sekali lagi, Indonesia secara resmi tak melibatkan militer dalam pemberantasan terorisme) besar-besaran di Poso. Menjelang Natal tahun lalu, dengan presumsi bahwa para teroris merencanakan pengeboman, frekuensi penangkapan meningkat. Sebagian penangkapan itu juga tak sepenuhnya legal.

Berarti penangkapan agresif oleh kepolisian ikut pemicu penyerangan?

Itu teori yang menarik. Ia sebenarnya bisa menyempitkan konflik antara para teroris dan kepolisian saja dan kemudian membuat penyelesaiannya lebih kelihatan. Sayangnya, pemerintah nampaknya bergerak kearah sebaliknya. Penangkapan-penangkapan dan pembunuhan terduga teroris yang masih dipertanyakan legalitasnya itu bisa jadi kian meluas dengan keinginan pemerintah merevisi UU Antiterorisme.

Penyerangan kemarin juga mengindikasikan sejenis ketakefektifan dalam program deradikalisasi para teroris. Sebab, setidaknya dua orang yang ditahan pernah dipenjara dan tentunya ikut program pembersihan otak.

Nah, pertanyaan pentingnya, kita perlu takut atau tidak?

Semisal paparan saya di atas sepenuhnya benar, jawabannya tetap tergantung siapa yang Anda tanyai. Buat para petugas keamanan, tentu jawabannya iya. Tapi bagaimanapun, sudah tugas mereka untuk berdiri di ambang bahaya. Barangkali, sadar atau tidak, masyarakat awam sudah paham juga soal sasar menyasar teroris dan kepolisian ini sehingga ketakutan yang muncul tak berlebihan.

Pertanyaan soal takut atau tidak ini juga sedianya retoris. Tentu saja kita orang takut dengan terorisme. Tapi, ia berbahaya saat ditunjukkan berlebihan. Satu, ia bisa bikin para pelaku atau dalang penyerangan girang karena berhasil. Dua, dia bisa bikin pemerintah mencuri kesempatan untuk memberangus kebebasan warga dengan dalih rasa takut tersebut.

Hanya satu hari setelah penyerangan kemarin, tiga orang ditangkap dengan dalih pemberantasan terorisme berdasarkan laporan palsu. Kita, orang Indonesia, saya rasa paham betul bagaimana bisa jadi jahatnya pemerintah saat rasa takut kita dimanipulasi. []

 

Leave a comment