Menara…

Setelah sekian lama, saya pulang lagi ke Demak awal bulan ini. Itu kota sedikit sekali berubah, entah siapa yang mesti disalahkan atau dijura.

Saya main juga ke Masjid Demak. Yang aneh dari bangunan itu, ia punya sejenis menara yang tak menyambung dengan bangunan utama. Menara itu berdiri di atas pondasi dari besi-besi berongga yang menapak pada sebuah bidang persegi, berjarak sekira sepuluh meter dari bangunan utama. Ia juga ganjil dibandingkan bangunan utama yang didominasi kekayuan.

Seingat Abah, menara itu belum jadi sewaktu kecil. Alih-alih, di lokasi yang persis sama, ada sebuah lubang galian berbentuk bujur sangkar. Ia terkadang dikerjakan siang, kerap kali malam. Orang- orang yang lewat bertanya untuk apa itu galian? “Nggo mateni kiai,”  kata para pekerja. Saat itu tahunnya 1965.

Abah mengenang, menjelang September, tak pernah sepekanpun lewat tanpa ada pawai simpatisan PKI di Demak.  Mbah Kakung jarang tidur di rumah karena khawatir diculik. Guru-guru prokomunis di berbagai sekolah kerap menyelipkan propaganda di sela-sela mata pelajaran.

Pada hari yang sama sebelum kunjungan ke masjid, saya diajak bertandang ke rumah Pakde Sukri. Umurnya sudah lewat 80 tahun. Kediamannya kerap jadi tetirah Ayah saya dan saudara-saudaranya ketika berangkat atawa pulang mengaji.

Pada awal 1960-an, Pakde berkisah, sempat aktif di kepanduan dan dapat sedikit pendidikan militer awal. Dengan latar itu, saat G30S meledak, ia direkrut bersama dua orang dari kampungnya  jadi Banser NU. “Tapi saya ndak ikut begini-begini,” kisahnya sembari menggerak-gerakkan tangan kanan dalam gestur orang menebas dengan golok.

Ia tak ingat merasa marah saat G30S meletus. Yang ia ingat jelas adalah ketakutan. Itu rasa masih jelas di mata tuanya saat berkisah. “Suasananya kacau. Mushala-mushala pada dibakar,” kata dia. Dan ketakutan kemudian mendorong orang-orang melakukan hal-hal yang barangkali kemudian mereka sesali.

Di Demak, ada sejumlah aliran sungai. Di salah satu jembatan yang melintasi kali-kali itu, pembunuhan para aktivis PKI dan mereka yang dituding, mengambil tempat. Orang-orang PKI dijejerkan di jembatan, dipenggal, kemudian dibuang ke sungai. Tak ada yang tahu pasti jumlahnya.

Siapa saja yang dibunuh? Orang-orang bercerita, ada daftar yang entah darimana jatuh ke tangan masyarakat. Mbah Kakung saya, karena saat itu menjabat carik, ditugasi menyortir itu daftar. Dalam satu hal, ia mengarahkan siapa saja yang harus berangkat ke jembatan. Dalam lain hal, secara matematis, ia menyelamatkan banyak lainnya. 

Haruskah saya malu dengan sejarah itu?  Terus terang, saya tak tahu. Saya tak hidup di masa mereka. Saya tak merasakan ketakutan mereka. Saya tak harus pergi sekolah sembari menengok lubang menganga yang katanya bakal jadi kuburan massal buat para ulama. 

Bagaimana jika para pelaku yang sudah sedha tersebut tak merasa bahwa yang mereka lakukan saat itu salah? Bagaimana jika mereka bersikeras bahwa tindakan mereka, meski kebablasan, semata dorongan naluriah untuk bertahan hidup?

Yang bisa saya katakan, 1965 adalah genosida yang kompleks. Dalam terma yang paling simplisistik, ia adalah kelindan kemarahan dan ketakutan orang Islam (juga umat beragama lain) dengan niat jahat pemerintah. Yang lebih rinci, ia juga melibatkan kepentingan penguasaan lahan para kiai, penegasan cengkeraman politik TNI AD, dan rekayasa geopolitik Amerika Serikat, bahkan mungkin sengketa seni dan budaya. Seluruh anasir itu, sayangnya, bermuara pada pembantaian dan persekusi massal.   

Saya tak yakin pemerintah bisa sedemikian leluasa bertindak tanpa restu mayoritas yang takut dan berang. Saya kira persekusi juga bisa lebih lekas disudahi bila Washington tak ikut mendorong pemberangusan komunis.

Semisal 1965 adalah kesalahan, kita harus sukarela mengakui bahwa ia adalah kesalahan kolektif. Barangkali, bukan hanya negara saja yang mesti dituntut minta maaf secara resmi. Umat Islam juga minta maaf, TNI AD juga minta maaf, NU juga minta maaf, pemerintah Amerika Serikat juga minta maaf, Goenawan Muhammad juga minta maaf. []

Leave a comment